AsikBelajar.Com | Kompetensi Supervisi Akademik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pengawas satuan pendidikan. Kompetensi ini berkenaan dengan kemampuan pengawas dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah/satuan pendidikan. Secara spesifik pengawas satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk membantu guru dalam memahami dan mengembangkan substansi tiap mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Berdasarkan tataran empiris dan kontekstual masih terlihat jelas adanya kesenjangan antara tataran normatif dengan fenomena ideologis, sosial, politik, dan cultural dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara RI. Tataran normatif sejak kita merdeka sudah terukir dengan indah apa yang menjadi komitmen kita bersama sebagai sebuah bangsa yaitu: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” (Pembukaan UUD 1945). Komitmen kebangsaan yang sangat tinggi yang tertulis secara norma-tif dengan kenyataan yang ditampilkan masih perlu pembenahan. Kesenjangan ini terus bergulir, puncaknya adalah krisis nasional, yang dikenal dengan kisis multidimensi. Untuk itu maka perlu pendidikan yang efektif dan bermutu.
Salah satu masalah yang terkait dengan penerapan esensi pendidikan ilmu pengetahuan sosial contohnya mata pelajaran kewarganegaraan adalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dan munculnya arogansi kesukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi demokratisasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional, maka diperlukan sosialisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi bagaimana pembelajarannya agar mampu memperkuat revitalisasi nasionalisme In-donesia menuju character and nation building sebagai tumpuan harapan pendidikan masa depan. Juga dapat memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indonesia yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah paradig-ma baru yang terkenal dengan arah baru atau paradigma moderat.
Menurut Malik Fajar (2004: 4) sejak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam IPS lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu pembentukan watak dan karakter yang sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan utama IPS. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan watak dan perilaku siwa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam IPS dalam rangka, menciptakan proses belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan pembiasaan hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.
Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya kendala kurikuler dan sosio-kultural dalam pembelajaran IPS untuk mencapai hasil belajar yang menyeluruh, yang dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepribadian yang diusulkan oleh Winataputra (2004: 21). Khususnya dalam menanamkan sikap, nilai dan perilaku yang dapat dijadikan landasan untuk membentuk watak dan karakter para siswa didik dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
Empat pilar belajar yang diperkenalkan oleh UNESCO dalam Soedijarto (2004: 10-18) yaitu learning to know, seperti telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu, hakikat dari learning to know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkret yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.
Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai pada tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang mampu mencari infor-masi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu memecahkan masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.
Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi manusia yang mampu menge-nal dirinya, yakni manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro), atau disebut memiliki Emotional Intelligence.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sis-tem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-bahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b) pendidikan Kewar-ganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika;(e) Ilmu Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya; (h) Pendidikan Jasmani dan Olah-raga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j) Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Undang Sisdiknas di atas jelas eksistensi PKn dalam kurikulum persekolahan adalah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Istilah yang sering digunakan selain PKn adalah civics. Henry Randall Waite (1886) seperti dikutip oleh Sumantri (2001: 281) merumuskan penger-tian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan ma-nusia dengan: (a) perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan civics adalah citizenship.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, saat ini sudah berkembang menjadi tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan menggunakan ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya intinya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan seti-ap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).
Menurut Malik Fajar (2004: 6-8) bahwa PKn sebagai wahana untuk me-ngembangkan kemampuan, watak dan karakter warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, PKn memiliki peranan yang amat penting. Mengingat banyak permasalahan mengenai pelaksanaan PKn sampai saat ini, maka arah baru PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah ba-ru yaitu:
Pertama, PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang relevan, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya, yang digunakan sebagai landas-an untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai, dan perilaku demokrasi warganegara. Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisi-pasi dalam hidup bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi) dijadikan materi kurikulum PKn yang bersumber pada pi-lar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
Kedua, PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik. Pembangunan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.
Ketiga, PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pem-belajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada pelatihan penggunaan logika dan penalaran.
Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan ba-han belajar interaktif yang dikemas dalam berbagai bentuk paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang diga-li dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan mutu guru PKn perlu dilakukan secara sistematis agar terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK, pelatihan dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai hasil be-lajar yang diharapkan.
Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman, sikap, dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democray). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga dapat lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah baru PKn yang diharapkan terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat , yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil yang menjadi tumpuan harapan kita bersama yakni dapat menjawab tantangan pembelajaran pada abad 21, yakni: (1) berpikir kritis dan menyelesaikan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) kete-rampilan berkomunikasi dan menggali dan menyampaikan informasi; (4) ke-terampilan berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan menggunakan teknologi dan media komunikasi dan informasi.
Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, semua sangat bergantung pada niat, dan dorongan kita bersama untuk memberikan dukungan, sehingga apa harapannya yang bersemangat berubah yang lebih penting adalah guru sebagai pelaku langsung di lapangan.
Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Masykuri Abdullah (Dede Rosyada, 2003: 117-119) adalah persamaan, kebebasan dan pluralisme. Robert Dahl dalam tulisan yang sama, bahwa prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak memilih dan dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat. Sedangakn Amin Rais dalam Dede Rosyada (2003: 117-119) merumuskan kriteria lain dari parameter demokrasi adalah: (1) adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan (2) distrbusi pendapatan secara riil.
Sumber:
Anonim. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Berdasarkan tataran empiris dan kontekstual masih terlihat jelas adanya kesenjangan antara tataran normatif dengan fenomena ideologis, sosial, politik, dan cultural dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara RI. Tataran normatif sejak kita merdeka sudah terukir dengan indah apa yang menjadi komitmen kita bersama sebagai sebuah bangsa yaitu: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” (Pembukaan UUD 1945). Komitmen kebangsaan yang sangat tinggi yang tertulis secara norma-tif dengan kenyataan yang ditampilkan masih perlu pembenahan. Kesenjangan ini terus bergulir, puncaknya adalah krisis nasional, yang dikenal dengan kisis multidimensi. Untuk itu maka perlu pendidikan yang efektif dan bermutu.
Salah satu masalah yang terkait dengan penerapan esensi pendidikan ilmu pengetahuan sosial contohnya mata pelajaran kewarganegaraan adalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dan munculnya arogansi kesukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi demokratisasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional, maka diperlukan sosialisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi bagaimana pembelajarannya agar mampu memperkuat revitalisasi nasionalisme In-donesia menuju character and nation building sebagai tumpuan harapan pendidikan masa depan. Juga dapat memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indonesia yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah paradig-ma baru yang terkenal dengan arah baru atau paradigma moderat.
Menurut Malik Fajar (2004: 4) sejak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam IPS lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu pembentukan watak dan karakter yang sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan utama IPS. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan watak dan perilaku siwa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam IPS dalam rangka, menciptakan proses belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum memberikan kontribusi yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan pembiasaan hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.
Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya kendala kurikuler dan sosio-kultural dalam pembelajaran IPS untuk mencapai hasil belajar yang menyeluruh, yang dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepribadian yang diusulkan oleh Winataputra (2004: 21). Khususnya dalam menanamkan sikap, nilai dan perilaku yang dapat dijadikan landasan untuk membentuk watak dan karakter para siswa didik dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
Empat pilar belajar yang diperkenalkan oleh UNESCO dalam Soedijarto (2004: 10-18) yaitu learning to know, seperti telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu, hakikat dari learning to know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkret yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.
Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai pada tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang mampu mencari infor-masi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu memecahkan masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.
Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi manusia yang mampu menge-nal dirinya, yakni manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro), atau disebut memiliki Emotional Intelligence.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sis-tem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-bahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b) pendidikan Kewar-ganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika;(e) Ilmu Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya; (h) Pendidikan Jasmani dan Olah-raga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j) Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Undang Sisdiknas di atas jelas eksistensi PKn dalam kurikulum persekolahan adalah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Istilah yang sering digunakan selain PKn adalah civics. Henry Randall Waite (1886) seperti dikutip oleh Sumantri (2001: 281) merumuskan penger-tian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan ma-nusia dengan: (a) perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan civics adalah citizenship.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, saat ini sudah berkembang menjadi tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan menggunakan ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya intinya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan seti-ap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).
Menurut Malik Fajar (2004: 6-8) bahwa PKn sebagai wahana untuk me-ngembangkan kemampuan, watak dan karakter warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, PKn memiliki peranan yang amat penting. Mengingat banyak permasalahan mengenai pelaksanaan PKn sampai saat ini, maka arah baru PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah ba-ru yaitu:
Pertama, PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang relevan, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya, yang digunakan sebagai landas-an untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai, dan perilaku demokrasi warganegara. Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisi-pasi dalam hidup bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi) dijadikan materi kurikulum PKn yang bersumber pada pi-lar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
Kedua, PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik. Pembangunan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.
Ketiga, PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pem-belajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada pelatihan penggunaan logika dan penalaran.
Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan ba-han belajar interaktif yang dikemas dalam berbagai bentuk paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang diga-li dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan mutu guru PKn perlu dilakukan secara sistematis agar terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK, pelatihan dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai hasil be-lajar yang diharapkan.
Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman, sikap, dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democray). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga dapat lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah baru PKn yang diharapkan terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat , yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil yang menjadi tumpuan harapan kita bersama yakni dapat menjawab tantangan pembelajaran pada abad 21, yakni: (1) berpikir kritis dan menyelesaikan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) kete-rampilan berkomunikasi dan menggali dan menyampaikan informasi; (4) ke-terampilan berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan menggunakan teknologi dan media komunikasi dan informasi.
Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, semua sangat bergantung pada niat, dan dorongan kita bersama untuk memberikan dukungan, sehingga apa harapannya yang bersemangat berubah yang lebih penting adalah guru sebagai pelaku langsung di lapangan.
Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun prinsip-prinsip demokrasi menurut Masykuri Abdullah (Dede Rosyada, 2003: 117-119) adalah persamaan, kebebasan dan pluralisme. Robert Dahl dalam tulisan yang sama, bahwa prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak memilih dan dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat. Sedangakn Amin Rais dalam Dede Rosyada (2003: 117-119) merumuskan kriteria lain dari parameter demokrasi adalah: (1) adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan (2) distrbusi pendapatan secara riil.
Sumber:
Anonim. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
0 Comments
Berikan Komentar Terbaik Anda Disini [NO SPAM, SARA n PORN]. Terima Kasih